Arif Saifudin Yudistira*
Pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
Aku tidak boleh menguap di kelas
Aku harus duduk menghadap papan di depan
Sebelum bel aku tidak boleh mengantuk
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
Aku tidak boleh menguap di kelas
Aku harus duduk menghadap papan di depan
Sebelum bel aku tidak boleh mengantuk
(Kenangan Anak-Anak Seragam,
Widji Thukul)
Memori sekolah itu ada di kepala kita
masing-masing. Sekolah memang menyimpan luka dan trauma. Sekolah adalah waktu
senggang sebagaimana dirumuskan oleh plato dan para filsuf di jaman dulu, kini
tak ada lagi. Kini, sekolah bahkan lebih parah dengan berbagai perangkatnya
yang semakin membawa satu ketidakfahaman dan semakin membingungkan. Apa yang
dialami di sekolahan adalah siksa, apa yang dialami di sekolahan bukan lagi
kenangan dan kesenangan dan tawa. Sekolah itu bisnis !
Imbauan
illich masih relevan hingga kini untuk membubarkan istitusi bernama sekolah.
Bagaimana tidak, ketika nilai mata pelajaran ditentukan berapa banyak kamu
membeli buku paket terbitan A,B, dan lain sebagainya. Sekolah itu memori
menyakitkan bagi si miskin. Trauma itu melekat di widji thukul, ia adalah
penyair yang menegaskan bahwa sekolah itu adalah trauma yang mengenaskan.
Sekolah telah memukul telak kehidupannya, bapak ibunya buruh, kemiskinan yang
mendera hingga siksaan kelaparan tak ada dalam kamus bernama sekolah. Sekolah
bagi thukul adalah perjalanan hidupnya, kehidupannya sendiri yang ia alami
bersama mall, tukang becak, dan keluarganya yang ia tuliskan di buku puisinya.
Hari
ini kita mengingat kembali memori bersekolah kita, di hari ini lah dan bulan-bulan
inilah sekolahan di buka. Murid-murid baru mulai mendaftar sekolah, para
mahasiswa baru pun mulai berebut kursi di perguruan tinggi. Orang tua mulai
ribut dan ribet mempersiapkan uang sekolah, pegadaian ramai dengan pinjaman dan
kredit untuk satu tujuan “sekolah”. Betapa selebrasi sekolah mengalahkan
selebrasi international di forum-forum dunia. Toko-toko buku dan alat tulis
menggeser buku-buku wacana dan buku-buku pahlawan diganti dengan buku-buku
tulis dan paket-paket diskon. “paket pintar” satu paket tas, pensil dan
sebagainya. Fenomena yang demikian kelihatan nampak wajar, lalu apa sebenarnya
yang dicari di sekolah dan untuk apa tujuan sekolah itu?.
Belajar dan mengajar
Saya
jadi teringat nyanyian bocah-bocah kecil yang saya temui di Qorri'ah Toyyibah.
Di taman belajar itu ia menyanyikan lirik “untuk menjadi pintar itu mudah
kuncinya banyak membaca, untuk menjadi terampil itu mudah kuncinya banyak
berkarya”. Membaca dan berkarya. Apakah sekolah mengajari dan memahami dua
kata itu?. Sekolah tak lebih institusi yang mengekalkan mitos dan mitologi
nilai-nilai. Betap tidak, bila sekolah mengukur dan mengubah prestasi dan bakat
siswa ke dalam angka-angka statistik. Tidak hanya itu, sekolah adalah mesin
yang terus-menerus menyerukan etos konsumsi. Mulai dari buku yang berjenis tiga
macam buku catatan, buku tugas, hingga buku PR. Anak-anak kita diam-diam dibawa
dalam suasana yang kelihatannya menyenangkan. Anak-anak dilatih berkonsumsi di
tiap ajaran barunya, dengan menggunakan semua hal yang serba baru. Tapi
pengetahuan tak kunjung baru. Buku paket pun ikut ikutan baru dengan label
“edisi revisi”,”disesuaikan dengan kurikulum terbaru” dan lain sebagainya.
Belajar
jadi direduksi, anak-anak mengalami siksa dan tragisme ketika mereka dipaksa
dalam kondisi yang serba cepat dan serba terbatas. Istirahat disetting hanya
lima belas menit. Seolah waktu mereka disita untuk mengurusi buku dan mata
pelajaran. Pertanyaannya benarkah mereka bapak ibu guru, murid dan sekolah
mengurusi buku-buku?. Tak ada bagaimana cara membaca, yang ada adalah menjawab
soal dan kunci jawaban. Bimbingan belajar tiba-tiba direduksi dengan bimbingan
soal-soal dan prestasi pun dirubah menjadi “nilai tertinggi UAN” dan tak ada
tempat bagi siswa bandel, siswa yang melenceng dan bertobat dari jalur
demikian. Alhasil sekolah mengeliminir mereka-mereka kaum kreatif dan kaum
termarginal dari sekolah. Mereka-mereka itulah kaum miskin, dengan bakat alam
yang sungguh hebat tiada tara yang berbekal pengalaman itu mereka mampu
mengarungi hidup yang kejam ini di negeri kaya raya. Mereka inilah yang sekolah
sebenar-benarnya.
Kita
pun tak mengenal belajar dan mengajar. Guru dan murid sama-sama belajar,
belajar dan mempelajari apa saja yang ada di kelas, yang ada sebaliknya guru
memberi murid tetap menerima meski pola kurikulum diganti ratusan kali. Siswa
adalah para pekerja yang menyelesaikan soal LKS tanpa tahu untuk apa LKS itu.
Yang kemudian harinya justru dibuang dan dijual di loakan. Buku itu seperti ada
batas nilai gunanya, kenang-kenangan,catatan pun dibuang begitu saja. Dan
akhirnya kita tak mampu lagi mengingat memori-memori masa lalu yang dulu begitu
lekat di buku-buku tulis kita. Belajar mengajar pun tiada lagi di sekolahan.
Perayaan konsumsi
Siapa
yang sebenarnya bermain dibalik etos konsumsi yang muncul di tiap ajaran baru
ini?. Negara seperti tak mau tahu urusan kualitas manusia-manusia indonesia.
Negara memahami sekolah dalam pengertian pemasok perusahaan-perusahaan dan
angka statistik yang berurusan dengan laporan kebijakan dan keberhasilan
presiden yang tiap tahunnya dipamerkan di pidato kenegaraan. Ada persoalan
substansial yang melampaui itu semua. Yakni etos konsumsi yang diam-diam
berjalan terus-menerus, seperti siklus yang tak berhenti. Orangtua, murid,
pemerintah hingga sekolahan sendiri seperti mengamini dan tidak bisa berbuat
banyak. Saya jadi teringat lagu iwan fals “Dan orde paling baru” : Kota
besar menjadi magnit. karena televisi mengiming imingi. Yang jelas rakyat butuh
pendidikan. Tapi pendidikan yang didapat adalah rongsokan “.
Sepertinya
memang demikian halnya, pendidikan yang didapat adalah rongsokan. Dan rongsokan itu makin lama makin mendapat
pengakuan saja dari manusia indonesia. Pendidikan itu kian tak menemui jawaban
terhadap persoalan-persoalan. Sebab tanya jawab kita berbeda dengan tanya jawab
realitas. Sungguh saya membenarkan kegagapan para mahasiswa yang ada di
perguruan tinggi-perguruan tinggi kita. Diam-diam kita pun mengikuti apa yang
dikatakan Baudrillard yakni “keberlimpahan”. Semua sudah berlimpah, termasuk
apa yang kita mau dan butuhkan. Keberlimpahan itulah yang coba dijelaskan
dengan berapa biaya kita selama kuliah? Ternyata ratusan juta dibuang tiap
tahunnya, dan untuk apa?. Sedang negeri ini masih saja bicara, mari masuk
sekolah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukankah kita semua rugi?, kita
sudah keluar begitu banyak uang, begitu banyak biaya untuk memenuhi nafsu besar
“sekolah”.
Dan
kita masih saja terlena, berjalan apa adanya seolah tidak ada apa-apa dan
mengamininya. Sekolah, meski banyak dera dan derita, tapi kita masih
memasukinya, dengan rela,dengan suka cita, dengan senyum manis di wajah
orangtua kita. Dan inilah dehumanisasi sekolah hari ini, kemaren dan mungkin
nanti. Entah-entah sampai kapan.
*)Penulis adalah Mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Solo, Pengelola Kawah Institute Indonesia
No comments:
Post a Comment