Popular Posts

Friday, November 16, 2012

Nafsu Besar Sekolah

Arif Saifudin Yudistira*

Pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
Aku tidak boleh menguap di kelas
Aku harus duduk menghadap papan di depan
Sebelum bel aku tidak boleh mengantuk
(Kenangan Anak-Anak Seragam, Widji Thukul)


Memori sekolah itu ada di kepala kita masing-masing. Sekolah memang menyimpan luka dan trauma. Sekolah adalah waktu senggang sebagaimana dirumuskan oleh plato dan para filsuf di jaman dulu, kini tak ada lagi. Kini, sekolah bahkan lebih parah dengan berbagai perangkatnya yang semakin membawa satu ketidakfahaman dan semakin membingungkan. Apa yang dialami di sekolahan adalah siksa, apa yang dialami di sekolahan bukan lagi kenangan dan kesenangan dan tawa. Sekolah itu bisnis !
            Imbauan illich masih relevan hingga kini untuk membubarkan istitusi bernama sekolah. Bagaimana tidak, ketika nilai mata pelajaran ditentukan berapa banyak kamu membeli buku paket terbitan A,B, dan lain sebagainya. Sekolah itu memori menyakitkan bagi si miskin. Trauma itu melekat di widji thukul, ia adalah penyair yang menegaskan bahwa sekolah itu adalah trauma yang mengenaskan. Sekolah telah memukul telak kehidupannya, bapak ibunya buruh, kemiskinan yang mendera hingga siksaan kelaparan tak ada dalam kamus bernama sekolah. Sekolah bagi thukul adalah perjalanan hidupnya, kehidupannya sendiri yang ia alami bersama mall, tukang becak, dan keluarganya yang ia tuliskan di buku puisinya.
            Hari ini kita mengingat kembali memori bersekolah kita, di hari ini lah dan bulan-bulan inilah sekolahan di buka. Murid-murid baru mulai mendaftar sekolah, para mahasiswa baru pun mulai berebut kursi di perguruan tinggi. Orang tua mulai ribut dan ribet mempersiapkan uang sekolah, pegadaian ramai dengan pinjaman dan kredit untuk satu tujuan “sekolah”. Betapa selebrasi sekolah mengalahkan selebrasi international di forum-forum dunia. Toko-toko buku dan alat tulis menggeser buku-buku wacana dan buku-buku pahlawan diganti dengan buku-buku tulis dan paket-paket diskon. “paket pintar” satu paket tas, pensil dan sebagainya. Fenomena yang demikian kelihatan nampak wajar, lalu apa sebenarnya yang dicari di sekolah dan untuk apa tujuan sekolah itu?.

Belajar dan mengajar

            Saya jadi teringat nyanyian bocah-bocah kecil yang saya temui di Qorri'ah Toyyibah. Di taman belajar itu ia menyanyikan lirik “untuk menjadi pintar itu mudah kuncinya banyak membaca, untuk menjadi terampil itu mudah kuncinya banyak berkarya”. Membaca dan berkarya. Apakah sekolah mengajari dan memahami dua kata itu?. Sekolah tak lebih institusi yang mengekalkan mitos dan mitologi nilai-nilai. Betap tidak, bila sekolah mengukur dan mengubah prestasi dan bakat siswa ke dalam angka-angka statistik. Tidak hanya itu, sekolah adalah mesin yang terus-menerus menyerukan etos konsumsi. Mulai dari buku yang berjenis tiga macam buku catatan, buku tugas, hingga buku PR. Anak-anak kita diam-diam dibawa dalam suasana yang kelihatannya menyenangkan. Anak-anak dilatih berkonsumsi di tiap ajaran barunya, dengan menggunakan semua hal yang serba baru. Tapi pengetahuan tak kunjung baru. Buku paket pun ikut ikutan baru dengan label “edisi revisi”,”disesuaikan dengan kurikulum terbaru” dan lain sebagainya.
            Belajar jadi direduksi, anak-anak mengalami siksa dan tragisme ketika mereka dipaksa dalam kondisi yang serba cepat dan serba terbatas. Istirahat disetting hanya lima belas menit. Seolah waktu mereka disita untuk mengurusi buku dan mata pelajaran. Pertanyaannya benarkah mereka bapak ibu guru, murid dan sekolah mengurusi buku-buku?. Tak ada bagaimana cara membaca, yang ada adalah menjawab soal dan kunci jawaban. Bimbingan belajar tiba-tiba direduksi dengan bimbingan soal-soal dan prestasi pun dirubah menjadi “nilai tertinggi UAN” dan tak ada tempat bagi siswa bandel, siswa yang melenceng dan bertobat dari jalur demikian. Alhasil sekolah mengeliminir mereka-mereka kaum kreatif dan kaum termarginal dari sekolah. Mereka-mereka itulah kaum miskin, dengan bakat alam yang sungguh hebat tiada tara yang berbekal pengalaman itu mereka mampu mengarungi hidup yang kejam ini di negeri kaya raya. Mereka inilah yang sekolah sebenar-benarnya.
            Kita pun tak mengenal belajar dan mengajar. Guru dan murid sama-sama belajar, belajar dan mempelajari apa saja yang ada di kelas, yang ada sebaliknya guru memberi murid tetap menerima meski pola kurikulum diganti ratusan kali. Siswa adalah para pekerja yang menyelesaikan soal LKS tanpa tahu untuk apa LKS itu. Yang kemudian harinya justru dibuang dan dijual di loakan. Buku itu seperti ada batas nilai gunanya, kenang-kenangan,catatan pun dibuang begitu saja. Dan akhirnya kita tak mampu lagi mengingat memori-memori masa lalu yang dulu begitu lekat di buku-buku tulis kita. Belajar mengajar pun tiada lagi di sekolahan.

Perayaan konsumsi

            Siapa yang sebenarnya bermain dibalik etos konsumsi yang muncul di tiap ajaran baru ini?. Negara seperti tak mau tahu urusan kualitas manusia-manusia indonesia. Negara memahami sekolah dalam pengertian pemasok perusahaan-perusahaan dan angka statistik yang berurusan dengan laporan kebijakan dan keberhasilan presiden yang tiap tahunnya dipamerkan di pidato kenegaraan. Ada persoalan substansial yang melampaui itu semua. Yakni etos konsumsi yang diam-diam berjalan terus-menerus, seperti siklus yang tak berhenti. Orangtua, murid, pemerintah hingga sekolahan sendiri seperti mengamini dan tidak bisa berbuat banyak. Saya jadi teringat lagu iwan fals “Dan orde paling baru” : Kota besar menjadi magnit. karena televisi mengiming imingi. Yang jelas rakyat butuh pendidikan. Tapi pendidikan yang didapat adalah rongsokan “.
            Sepertinya memang demikian halnya, pendidikan yang didapat adalah rongsokan.  Dan rongsokan itu makin lama makin mendapat pengakuan saja dari manusia indonesia. Pendidikan itu kian tak menemui jawaban terhadap persoalan-persoalan. Sebab tanya jawab kita berbeda dengan tanya jawab realitas. Sungguh saya membenarkan kegagapan para mahasiswa yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi kita. Diam-diam kita pun mengikuti apa yang dikatakan Baudrillard yakni “keberlimpahan”. Semua sudah berlimpah, termasuk apa yang kita mau dan butuhkan. Keberlimpahan itulah yang coba dijelaskan dengan berapa biaya kita selama kuliah? Ternyata ratusan juta dibuang tiap tahunnya, dan untuk apa?. Sedang negeri ini masih saja bicara, mari masuk sekolah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukankah kita semua rugi?, kita sudah keluar begitu banyak uang, begitu banyak biaya untuk memenuhi nafsu besar “sekolah”.
            Dan kita masih saja terlena, berjalan apa adanya seolah tidak ada apa-apa dan mengamininya. Sekolah, meski banyak dera dan derita, tapi kita masih memasukinya, dengan rela,dengan suka cita, dengan senyum manis di wajah orangtua kita. Dan inilah dehumanisasi sekolah hari ini, kemaren dan mungkin nanti. Entah-entah sampai kapan.

*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo, Pengelola Kawah Institute Indonesia 



No comments:

Post a Comment