Oleh
Amar Ma’ruf
Teknik
Kimia UMS
Solid
State Fermentation
(Fermentasi Padat)
Fermentasi berasal dari bahasa latin
yaitu dari kata “fervere” yang
berarti mendidih yang menunjukan adanya aktivitas pada ekstrak buah-buahan
atau larutan malt biji-bijian. Kelihatan
seperti mendidih karena terbentuknya gelembung-gelembung CO2 akibat
dari proses katabolisme secara anaerobic dari yang ada dalam ekstrak (Retno
Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008).
Fermentasi
digolongkan menjadi 3, yaitu (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008):
·
Fermentasi permukaan
·
Sistem fermentasi cair
·
Sistem fermentasi padat
Penelitian ini menggunakan metode sistem
fermentasi padat. Sistem fermentasi padat umumnya diidentikan dengan
pertumbuhan mikroorganisme dalam partikel pada substrat dalam berbagai variasi
kadar air. Substrat padat bertindak sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral,
dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menyerap
air, untuk pertumbuhan mikroba (M. Saban Tanyildizi dkk,2007).
Mikroorganisme yang tumbuh melalui
sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan di bawah habitat
alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolism yang
lebih efisien dibandingkan dengan system fermentasi cair. Sistem fermentasi
padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair,
diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya
investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit,
recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem
fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di Negara-negara
berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan
substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan (M. Saban Tanyilzi dkk, 2007).
Enzim yang dihasilkan melalui proses
sistem fermentasi padat baik yang belum dimurnikan atau yang dimurnikan secara
parsial dapat diaplikasikan di industri seperti pectinase digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amylase untuk sakarifikasi pati.
Murahnya harga residu pertanian dan argo-industri merupakan salah satu sumber
yang dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta
menunjukan bahwa residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam sistem
fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrient bagi kultur
tetapi juga sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba (M. Saban Tanyilzi dkk, 2007).
Komposisi dan konsentrasi dari media dan
kondisi fermentasi sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi enzim
ekstraseluler dari mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan substrat merupakan faktor
yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan substrat padat
memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi pada proses sistem
fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 60 dan 50% untuk biaya
medium fermentasi dan pengaturan proses down-stream.
Sehingga dapat diketahui bahwa sistem fermentasi padat cocok untuk
pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri karena
membutuhkan air yang lebih banyak (M.
Saban Tanyilzi dkk, 2007).
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi dan produksi enzim
adalah:
a. Konsentrasi
substrat
Substrat
merupakan sumber nutrient utama bagi fungi. Nutrient-nutrien baru dapat
dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraseluler yang dapat
mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Indrawati Gandjar, 2006).
b. Sumber
nitrogen
Bahan
yang banyak dipakai sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium
sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat
mempengaruhi aktivitas dari Aspergillus
niger. Pada proses fermentasi untuk menghasilkan enzim selulase, sumber
nitrogen yang optimal adalah urea (Narasimha G dkk, 2006), (Vu et al., 2011).
c. Phospat
Kebutuhan
phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan tetapi
keseimbangan antara mangan, seng, dan phospat merupakan salah satu faktor
penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka
adanya phospat dapat memberikan keuntungan (Indrawati Gandjar, 2006).
d. Magnesium
Magnesium
berfungsi sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang terlibat dalam
reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium adalah
0,002-0,0025% (Indrawati Gandjar, 2006).
e. Aerasi
Dalam
media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan pori-pori bahan
yang difermentasikan (Indrawati Gandjar, 2006). Aerasi berfungsi untuk
mempertahankan kondisi aerobik untuk desorbsi CO2, mengatur
temperatur substrat, dan mengatur kadar air (Prior dkk, 1980). Aerasi yang
diberikan juga membantu menghilangkan sebagian panas yang dihasilkan sehingga
temperatur dapat dipertahankan pada temperatur optimal untuk produksi enzim
(Abdul Aziz Darwis dkk, 1995).
Tingkat
aerasi optimal yang diberikan dipengaruhi oleh sifat mikroorganisme yang
digunakan. Tingkat O2 yang dibutuhkan untuk sintesis produk, jumlah
panas metabolik yang harus dihilangkan dari bahan, ketebalan lapisan substrat,
tingkat CO2, dan metabolit-metabolit lain yang mudah menguap harus
dihilangkan, dan tingkat ruang udara yang tersedia di dalam substrat (Lonsane
dkk, 1985).
f. pH
pH
substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu
hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu.
Umumnya fungi menyukai pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh
pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5-5,5. Pengaruh pH sangat penting dalam
industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk antibiotik, dan juga
mencegah pembusukan bahan pangan (Indrawati Gandjar, 2006). Pada penelitian
sebelumnya, produksi enzim tertinggi terjadi pada pH 4 (Vu et al., 2011).
g. Temperatur
inkubasi
Berdasarkan
kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan
sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang kisaran
temperature pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat
tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau
termotoleran (Candida tropicalis,
Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang
optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme funginya,
sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin (Indrawati
Gandjar, 2006). Pada penelitian sebelumnya, produksi enzim selulase tertinggi
terjadi pada temperatur 35ºC (Vu et al.,
2011).
h. Waktu
fermentasi
Pada
awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun pada hari
ke-10. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami
beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase
stasioner, dan fase kematian (Abdul Aziz Darwis dkk, 1995).
Organisme
pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial. Jadi
dapat diduga bahwa pada saat aktivitas enzim yang dihasilkan tinggi, maka fungi
telah berada pada fase tersebut (Suhartono, 1989). Pada penelitian sebelumnya
aktivitas enzim yang optimal adalah pada waktu fermentasi selama 3 hari (Vu et al., 2011).
i.
Moisture
Content
Moisture
content merupakan faktor penting dalam proses sistem
fermentasi padat karena variable ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan
mikroorganisme, biosintesis, dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan
nutrient di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air
tinggi. Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan
berkurangnya yield enzim yang
dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada matriks
padatan, sehingga manghalangi transfer oksigen (Md. Zahangir Alam dkk, 2005).
Pada penelitian sebelumnya, moisture
content yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus
niger adalah 40% (Vu et al.,
2011).
No comments:
Post a Comment